Bagian 3. Damn, I love him

hanafubueki
9 min readJul 15, 2023

--

Gamya

Gue lagi duduk di restoran, makan sama Gina. Suasana tadinya santai, canda tawa masih sempat terlempar, sampai tiba-tiba ponsel gue bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari Mesha, bikin gue langsung panik. Katanya dia habis keserempet motor, tapi belum bilang ke abang-abangnya. Gue berhenti makan seketika. Jantung gue berdegup kencang. Pikiran gue langsung kemana-mana. Mesha sendirian, dan yang bikin gue makin khawatir, dia belum kasih tahu abang-abangnya. Artinya, cuma gue yang tahu saat ini.

Berulang kali gue coba telepon Mesha, tapi nggak ada jawaban. Gue makin panik. Sambil terus mencoba menghubunginya, gue merasakan tangan Gina menyentuh lengan gue, suaranya terdengar cemas.

“Kamu kenapa?” tanyanya dengan lembut, meskipun gue tahu dia mulai bingung dengan perubahan sikap gue.

“Maaf, Gin. Ini si Memei bilang habis keserempet, tapi dia belum cerita ke abang-abangnya karena takut. Aku coba telepon tapi nggak diangkat.” Suara gue bergetar. Gue ngerasa takut — takut banget kalau terjadi sesuatu sama Mesha.

“Telepon Noa aja,” usul Gina, terdengar logis.

“Gin, dia kan tadi bilang takut bilang ke abang-abangnya. Masa aku laporin sih,” jawab gue sambil terus mencoba menghubungi Mesha. Gue ngerasain Gina ngedecak pelan di sebelah gue.

“Ya terus mau gimana? Kamu lagi di Malang. Terus aku besok udah balik Jogja. Masa quality time kita rusak gara-gara kamu ngurusin Mesha?” Nada Gina mulai terdengar kesal, dan gue bisa merasakannya. Tapi dalam hati, rasa takut gue soal Mesha jauh lebih besar dari apapun yang dia omongin sekarang.

“Bentar dulu, Gin. Aku lagi coba hubungin Memei. Sumpah, aku pusing kalo kamu ngomel terus,” balas gue, ngerasa kepala gue mulai berdenyut. Gue bangun dari kursi, menjauh sedikit dari Gina dan mengetik pesan lagi ke Mesha. Gue tunggu balasan dengan cemas, dan setelah beberapa menit, akhirnya ada pesan masuk. Gue sedikit lega, tapi situasi ini belum selesai.

Gue langsung mikir siapa yang bisa gue mintain tolong di Surabaya. Gue buka kontak, nyari nama yang familiar. Mata gue berhenti di satu nama, Vivian — temen OSIS gue pas SMA, yang sekarang kuliah di Surabaya. Gue inget, ini weekend, jadi kemungkinan besar dia bisa bantu. Gue langsung chat dia, minta tolong buat jemput Mesha di lokasi yang dia kasih. Untungnya, Vivian mau dan langsung gerak. Setelah Vivian nge-iyain, gue kembali ke meja.

Gue liat wajah Gina, mukanya udah jelas banget nggak happy. Kayaknya dia makin kesal ngeliat gue yang sibuk sendiri.

“Kamu serius? Kamu mau ke Surabaya sekarang? Aku heran banget sama kamu. Mesha punya dua kakak laki-laki, kenapa kamu yang repot? Dia tuh bukan tanggung jawab kamu! Kalau emang takut bilang ke abang-abangnya, ya dia bisa hubungin temennya sendiri, atau siapa kek. Dia nggak usah terus-terusan ganggu waktu kita!” Gina makin emosi, dan kalimat terakhirnya bikin gue tersentak.

“Gin, aku tau kamu marah, tapi Mesha butuh aku sekarang. Maaf, ya? Besok aku nggak bisa anter kamu ke stasiun, tapi aku akan pastiin kamu aman di hotel dulu. Gimana?” Gue berusaha ngomong selembut mungkin, meskipun dalam hati gue udah stres banget.

“Kamu serius mau ninggalin aku sekarang? Kalau kamu pergi sekarang, kita putus!” Gina tiba-tiba ngeluarin ancaman itu dengan nada tinggi. Gue kaget, nggak nyangka bakal denger itu dari dia. Gue coba pegang tangannya, tapi dia langsung menepisnya kasar.

“Maaf banget, Gin. Aku tau kamu marah, tapi nanti kita omongin lagi ya? Sekarang aku bener-bener harus ke Surabaya. Ayo, aku antar kamu ke hotel dulu,” bujuk gue sambil menarik pelan lengannya, berharap dia mau ikut. Tapi Gina tetap di tempat, wajahnya memerah karena marah.

“Nggak mau ke hotel! Kamu kalo mau ke Surabaya, ya udah, sana! Aku balik sendiri!” Nada suaranya penuh kemarahan dan kecewa.

“Gin, yang bener aja? Ayo aku antar, please,” gue coba sekali lagi.

“Nggak, aku nggak mau!” tegasnya, nggak ngasih ruang buat negosiasi.

Gue cuma bisa menghela napas, ngeliat jam tangan yang udah makin sore. Gue harus segera cabut ke Surabaya sebelum malam. Gue berdiri, ngeliat Gina yang masih marah.

“Yaudah, kalau kamu nggak mau diantar. Aku beneran harus pergi sekarang. Nanti kita omongin lagi ya? Aku bakal kabarin kalo udah sampai. Sampai ketemu lagi, Gina.” Gue elus kepala Gina pelan, tapi dia nepis tangan gue lagi, makin marah.

Tanpa nunggu lagi, gue keluar dari restoran. Di kepala gue cuma ada satu hal: gue harus pastiin Mesha aman.

Gamya

Pukul tujuh malam. Langit Surabaya sudah mulai gelap, dengan kilauan lampu-lampu kota yang memantul di jalanan basah setelah hujan sore tadi. Gue berdiri di depan gedung apartemen Vivian, temen lama dari SMA. Pikiran gue penuh dengan rasa khawatir tentang keadaan Mesha. Vivian kebetulan berada di sekitar lokasi kejadian dan langsung bawa Mesha ke apartemennya. Gue buru-buru ke sini buat ngecek keadaannya.

Gue masuk gedung, langkah kaki gue terdengar bergema di sepanjang koridor. Di depan pintu apartemen Vivian, gue mengetuk dengan sedikit tergesa. Nggak lama kemudian, pintu terbuka, dan Vivian muncul dengan senyum tipis. “Gam, masuk aja,” katanya santai.

Tanpa buang waktu, gue masuk ke dalam apartemen yang penuh dengan nuansa biru muda yang bikin suasana jadi lebih adem. Di ruang tengah, gue lihat Mesha duduk di sofa depan TV, sambil makan dengan santai. Melihat dia kelihatan baik-baik aja, sedikit rasa lega muncul di hati gue. Tapi gue masih harus memastikan semuanya benar-benar baik.

Gue mendekat ke sofa dan duduk di sampingnya. “Lo gimana, Mei? Parah nggak lukanya?” tanya gue, perhatian gue fokus ke tubuhnya, nyari tanda-tanda luka.

Mesha menoleh, senyum tipisnya masih kelihatan, meski matanya sedikit sayu. “Sedikit kok, udah diobatin sama Kak Vivian,” jawabnya tenang. Suaranya terdengar santai, tapi gue bisa nebak dia mungkin masih shock. Mesha selalu bisa nyembunyiin perasaannya di balik senyum polosnya itu, dan ini bukan pertama kalinya.

Gue mengusap pucuk kepalanya pelan, berusaha bikin dia nyaman. “Untung aja cuma sedikit. Nanti kalo udah lebih tenang, lo ceritain ke gue ya gimana bisa keserempet. Tapi nggak usah sekarang, gue ngerti lo pasti masih kaget,” gue ngomong dengan lembut, nggak mau maksain dia buat cerita sekarang. Mesha cuma mengangguk pelan, balik fokus ke makanannya.

Gue ngelirik ke arah Vivian yang duduk di kursi dekat sofa. “Vi, makasih banget ya. Serius, tadi gue panik banget. Untung lo ada di sekitar sini dan bisa bantu,” gue ucapin rasa terima kasih gue dengan tulus.

Vivian tersenyum, geleng-geleng kepala pelan. “Nggak apa-apa, Gam. Gue seneng bisa bantu. Gue juga baru tahu kalo adiknya Noa ternyata secantik ini. Kirain adiknya cowok,” katanya sambil ngelirik ke arah Mesha.

Gue ketawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Hahaha, iya,” jawab gue.

Setelah ngobrol sebentar, gue berdiri. “Vi, nanti kalo Mesha udah selesai makan, gue bawa dia balik ke apartemen gue ya. Biar nggak terlalu ngerepotin lo. Oh, dan tenang aja, apartemen gue ada dua kamar,” gue memastikan Vivian nggak mikir yang aneh-aneh.

Vivian tertawa kecil. “I know, Gam. Gue nggak ngurusin soal hal begituan sih. Tapi, perhatian banget lo sama adiknya Noa, ya?” Vivian ngelirik gue dengan tatapan yang seakan ngerti sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa.

Gue cuma senyum kaku, nggak mau terlalu nunjukin apa yang gue rasain sebenernya.

Vivian kemudian menoleh ke Mesha yang udah hampir selesai makan. “Sha, kamu udah tahu belum mau kuliah di mana?” tanya Vivian dengan nada penasaran.

Mesha mengangkat bahu dan berpikir sebentar. “Hmm, aku masih belum tahu, Kak. Tapi mungkin aku mau bareng Mas Gum,” jawabnya sambil tersenyum kecil.

Vivian langsung menatap gue, bingung. “Mas Gum?” tanyanya sambil tertawa kecil.

Gue tersenyum, sedikit malu. “Iya, itu panggilan dia buat gue,” jawab gue dengan santai.

Vivian tertawa lebih lepas. “Lucu juga ya panggilan lo. Jadi kalo gitu, kamu bakal di Malang, kan? Nggak mau di sini aja bareng aku, Sha?” Vivian mencoba bercanda sambil melirik Mesha.

Mesha cuma tersenyum kecil, sedikit malu-malu. “Hehe, aku masih belum tahu, Kak. Tadi cuma asal ngomong aja,” jawabnya pelan.

Gue nggak heran kalo Mesha bisa cepat akrab sama Vivian. Mesha emang punya kepribadian yang gampang nyambung sama orang lain. Dan melihat kedekatan mereka sekarang, gue sadar kalau perasaan gue ke Mesha mungkin udah jauh lebih dalam dari sekadar perhatian biasa.

Setelah beberapa saat, gue lihat Mesha udah selesai makan. Gue berdiri dan melirik ke arah Vivian yang kelihatannya juga udah siap buat balik ke rutinitasnya. “Mei, yuk kita balik. Kasian Vivian, dia pasti udah ada rencana buat malmingan, tapi malah digangguin sama kita,” gue bilang sambil tersenyum, mencoba bercanda.

Mesha mengangguk pelan, bersiap buat berangkat. Vivian berdiri dan membuka pintu apartemennya sambil tersenyum ke arah kami. “Hati-hati ya, Gam, Mesha. Kalo ada apa-apa, kabarin gue aja,” katanya dengan tulus.

“Pasti, Vi. Makasih banyak ya,” jawab gue sambil melambaikan tangan, bersiap keluar.

Gue dan Mesha berjalan menyusuri koridor apartemen, suasana di antara kami terasa tenang.

Saat kami menunggu lift, gue melirik ke arah Mesha. “Lo capek nggak, Sha?” tanya gue, berusaha ngajak ngobrol.

“Nggak kok, aku nggak capek. Tadi sempat istirahat sebentar di sofa. Kak Vivian orangnya baik banget,” jawab Mesha sambil tersenyum.

Mesha

Luka-luka di tubuhku masih terasa perih, nyeri itu menggerogoti setiap inci kulitku saat aku berusaha mengatur napas di dalam mobil. Malam telah merangkak, udara dingin menyeruak masuk meski jendela sudah tertutup rapat. Mobil Gamya melaju perlahan, tapi detak jantungku terasa lebih cepat dari biasanya. Gamya yang duduk di kursi pengemudi melirikku sesekali, jelas mengkhawatirkanku, tapi tak mengatakan banyak. Sejak tadi, dia hanya fokus pada jalanan gelap di depannya, mengemudi dengan hati-hati. Suasana di antara kami terasa tenang, tapi sesekali keheningan itu terasa berat.

Badanku masih penuh luka, dan setiap gerakan mengingatkanku pada kejadian tadi. Aku berusaha keras untuk menyembunyikan rasa sakit ini, tapi langkahku yang tertatih ketika menuju mobil tadi sudah cukup memberi petunjuk. Gamya terpaksa memegangi kedua bahuku dengan lembut, membantuku berjalan, seolah tahu bahwa aku butuh dukungan, meskipun aku tak pernah memintanya.

“Lo udah bilang abang-abang lo, Mei?” tanyanya pelan, suaranya terdengar lembut namun penuh perhatian. Pertanyaan itu sebenarnya sederhana, tapi aku tahu di baliknya ada kekhawatiran yang mendalam.

Aku menggeleng pelan, “Belum. Nggak ada niat juga buat bilang,” jawabku sambil mencoba tersenyum kecil, meskipun rasanya lemah.

Mas Noa dan Mas Declan, kedua kakakku, adalah dua sosok yang sangat protektif. Jika mereka tahu tentang kejadian ini, aku yakin masalahnya akan menjadi lebih besar. Mereka mungkin akan datang ke sini, menanyakan banyak hal, memaksa jawaban dari mulutku yang bahkan belum siap untuk bercerita. Aku hanya ingin semua ini berlalu, tanpa drama tambahan yang hanya akan membuatku lebih lelah.

Gamya mengangguk pelan. Dia tidak memaksa, dan itu adalah salah satu hal yang paling aku hargai dari dirinya. “Yaudah, bilang aja lo nginap di rumah temen lo. Lo tidur di apart gue aja malem ini. Gue nggak langsung balik ke Malang kok,” ucapnya sambil melirikku sekilas.

Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan tawaran itu. “Kamu nggak kuliah besok?”

“Ya, kuliah sih,” katanya santai, “tapi nggak masalah. Gue nggak tenang kalau ninggalin lo sendirian dalam keadaan kayak gini.”

Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang selalu membuatku merasa nyaman. Gamya selalu penuh pengertian. Dia adalah tipikal orang yang tidak banyak bicara tapi tindakannya berbicara lebih keras dari kata-katanya. Meski bukan keluarga, dia memperlakukan aku seolah-olah aku adalah seseorang yang sangat berharga.

Mobil kami berhenti di depan sebuah apartemen sederhana, bangunan yang sudah familiar bagiku. Gamya membantuku keluar dari mobil, mengulurkan tangannya agar aku bisa bersandar. Suasana di sekitar apartemen sangat sepi, hanya suara angin dan gemerisik dedaunan yang menemani kami. Lampu-lampu jalanan berpendar temaram, memberikan kesan sunyi yang mengendap di dada.

“Ayo, masuk. Lo butuh istirahat,” katanya dengan nada yang tegas tapi tetap lembut.

Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena rasa sakit di tubuhku, tapi juga ada sesuatu yang lebih mendalam — sesuatu yang mulai tumbuh di dalam hatiku.

Di dalam apartemennya yang hangat, suasana berbeda menyelimuti kami. Ruang tamu yang sederhana namun rapi, dengan sofa abu-abu dan meja kayu di tengahnya, menciptakan kesan nyaman. Gamya membawaku ke sofa dan menyuruhku duduk. Dia beranjak ke dapur, membuatkan teh hangat. Aku memperhatikan gerakannya, cara dia memperlakukan setiap benda dengan penuh perhatian, seperti dia memperlakukan orang-orang di sekitarnya. Setiap detail kecil selalu dia pikirkan.

Dari dulu, dia selalu memperlakukan aku dengan cara yang spesial, meskipun aku tahu dia baik pada semua orang.

“Minum ini, biar lo tenang,” katanya sambil menyerahkan secangkir teh.

Aku meraih cangkir itu, tangan kami bersentuhan sebentar. Sentuhan yang singkat, tapi cukup untuk membuat jantungku berdebar. Aku menyesap teh hangat itu, merasakan kehangatan yang menyebar di tubuhku, tapi pikiran tentang Gamya tidak bisa hilang begitu saja.

Apakah aku salah jika mulai mengartikan kebaikannya sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian seorang teman? Aku tak bisa berhenti berpikir, apakah ada yang lebih dari sekadar kebaikan di balik semua ini? Atau aku yang terlalu berlebihan, terlalu percaya diri menganggap bahwa perasaanku ini dibalas?

“Tuhan, maafkan aku,” bisikku dalam hati. “Aku rasa, aku telah jatuh cinta pada teman kakakku sendiri.”

--

--

hanafubueki
hanafubueki

No responses yet