Bagian 4. She will always be my favorite
Gamya
Malam itu gue duduk di tepi tempat tidur, menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan terakhir dari Gina. Gue nggak tahu harus bereaksi gimana. Teks singkat yang ditulisnya seolah dengan mudah mengakhiri semua yang udah kami lalui. Rasanya kayak dihantam badai tanpa ada waktu buat berteduh. Gue baca ulang kata-kata itu, berharap ada kesalahan, tapi nggak ada yang berubah.
Dada gue sesak. Gue sayang sama Gina, selalu sayang. Dari awal hubungan ini dimulai sampai sekarang, perasaan gue nggak pernah berubah. Gue mencoba mengingat kenangan-kenangan manis bareng dia, tapi kenangan itu malah jadi makin menyakitkan sekarang. Gue nggak ngerti kenapa Gina nggak mau dengerin penjelasan gue. Setiap kata yang gue coba jelasin selalu dianggap excuse, seolah semua usaha gue sia-sia.
Dan yang makin bikin pusing, bukan cuma Gina yang bikin semuanya jadi rumit. Temen-temen gue pun belakangan sering banget nanya soal Mesha. “Lo naksir Mesha, Gam?” Gue bener-bener bingung sama pertanyaan itu. Ya, gue sayang sama Mesha, tapi nggak dalam konteks seperti yang mereka pikirkan. Mesha udah jadi temen gue sejak kecil, dia adik dari Noa, sahabat gue sendiri. Gue selalu ngerasa tanggung jawab buat jaga Mesha, karena gue udah ngeliat dia tumbuh dari anak kecil yang lugu sampai jadi perempuan dewasa. Tapi menurut gue, perasaan sayang gue ke Mesha ya sebatas itu — persahabatan, rasa sayang seorang kakak.
Gue inget gimana dulu gue pernah juga ngeliat Mesha sebagai perempuan, sebagai sosok yang gue sadari punya daya tarik, sama seperti gue ngeliat Gina atau cewek-cewek lain yang pernah ada di hidup gue. Tapi perasaan itu nggak pernah berkembang jadi sesuatu yang lebih. Mesha tetap di otak gue sebagai “adik kecil” yang gue jaga, nggak lebih dari itu.
Namun, temen-temen gue sepertinya nggak ngeliat hal yang sama. Mereka sering bilang, “Lo nggak sadar, Gam, lo terlalu perhatian sama Mesha. Itu bukan sikap temen biasa”. Tapi di kepala gue, gue nggak pernah bermaksud lebih dari itu. Gue cuma berusaha jadi temen baik, atau mungkin lebih tepatnya seorang kakak buat Mesha. Nggak sekali dua kali gue putus sama pacar karena mereka cemburu sama kedekatan gue dengan Mesha. Mereka selalu bilang gue terlalu memprioritaskan Mesha di atas mereka. Tapi, apa salah kalau gue peduli sama dia? Gue selalu berpikir bahwa Mesha adalah bagian dari keluarga gue, dan itu artinya prioritas gue emang beda.
Mesha sendiri nggak pernah salah apa-apa. Beberapa mantan gue bahkan ngirim pesan kasar ke Mesha, nyalahin dia karena merasa disingkirkan dari hidup gue.
Tapi selama seminggu terakhir, pertanyaan-pertanyaan itu nggak bisa hilang dari kepala gue. Gue mulai mikir, apa temen-temen gue bener? Apa gue nggak sadar selama ini punya perasaan lebih ke Mesha? Gue tanya ke diri gue sendiri berkali-kali, “Do I love Mesha?” Jawabannya selalu iya, tapi nggak dalam arti yang mereka pikirkan. Gue sayang Mesha sebagai temen, sebagai sosok yang udah ada di hidup gue sejak lama. Tapi kalo soal pacaran? Gue nggak tahu. Gue nggak pernah mikir ke arah sana.
Dan sekarang, setelah Gina mutusin gue, semuanya jadi lebih kusut. Apa selama ini gue salah? Apa gue kurang adil ke mantan-mantan gue karena terlalu perhatian ke Mesha? Apa benar gue lebih milih Mesha dibanding pasangan gue? Gue nggak tahu jawabannya. Semua ini ngebuat kepala gue penuh dengan pertanyaan yang nggak ada akhirnya. Tuhan, gue bener-bener bingung sekarang.
Malam itu, gue berbaring di tempat tidur dengan mata yang menatap langit-langit kamar. Di tengah keheningan, gue kembali bertanya pada diri gue sendiri, “Do I love Mesha? Apa gue mau pacaran sama dia?” Jawabannya? Gue nggak tahu. Gue bener-bener nggak tahu. Tapi ada satu hal yang gue tahu pasti — Mesha selalu jadi bagian penting di hidup gue. Dia selalu jadi tempat gue pulang, tempat di mana gue merasa nyaman dan diterima apa adanya. Mesha adalah rumah gue.
Dan meskipun gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan sekarang, gue tahu bahwa apapun yang terjadi, Mesha akan selalu jadi seseorang yang spesial. Tapi apakah itu artinya gue harus melihatnya dengan cara yang berbeda? Gue nggak tahu. Buat sekarang, gue hanya bisa membiarkan semuanya berjalan seperti apa adanya. Entah ke mana ini akan membawa gue, tapi gue berharap jawabannya akan datang pada waktunya.