Bagian 5. Intimidating gaze

hanafubueki
4 min readJul 20, 2023

December 2017

Mesha

“Hati-hati ya Lang baliknya.” ucapku pada Elang. Hari ini aku dan Elang sepakat untuk membicarakan tentang pemilihan OSIS bulan depan. Selain itu kami juga membahas visi misi yang telah kami rancang dan bagaimana cara menjawab pada saat pemilihan tersebut. Saat aku akan membuka pintu depan untuk mengantar Elang, pintu terbuka terlebih dahulu dan aku bisa melihat Mas Noa dan Gamya yang berdiri di depan pintu.

“Eh udah sampai kalian? Langsung kesini apa sempat ke rumah mas Gamya dulu tadi?” ku lihat mereka berdua tidak menjawab pertanyaanku namun melihat ke arah belakangku, tepat dimana Elang berdiri.

“Oh ini teman aku, partner kandidat untuk OSIS, namanya Elang. Elang yang ini kakak aku Mas Noa dan sebelahnya temannya Mas Gamya.” kataku saling memperkenalkan mereka. Elang tersenyum simpul dan menjulurkan tangannya. Tanda ingin menjabat dan memperkenalkan diri pada mereka. Mas Noa dan Gamya membalas uluran tangan tersebut dan memperkenalkan diri mereka singkat.

“Udah mau balik ya, Lang?” tanya mas Noa.

“Iya mas, udah daritadi. Udah selesai kok urusannya. Duluan ya Mesha, duluan mas-mas.” pamitnya yang dibalas anggukan oleh mereka.

Setelah kepergian Elang, aku mendudukan diriku di sofa depan TV dan membereskan beberapa alat tulis dan buku yang aku dan Elang gunakan. Gamya berjalan menuju dapur dan mengambil air dingin dari dalam kulkas, kemudian duduk di sebelah aku.

Sempat ke rumah kamu tadi?” tanyaku tanpa menoleh kepadanya. “Nggak, langsung kesini. Cuma bawa ransel doang nih kesini.” aku hanya mengangguk pelan mendengar jawabannya. Kemudian aku beranjak, hendak meletakkan alat tulis di kamarku. Tanpa ku sadari Gamya sedang mengekoriku, ikut menuju kamarku. Ia hanya berdiri diujung pintu tanpa masuk ke dalam kamar.

Jadi udah jadian belum?” tanyanya ditengah keheningan kami. Aku masih sibuk menata barang-barangku.

Udah. Tadi dia confess his feeling.” ucapku singkat.

Terus lo terima?” saat ini ia berjalan ke dalam kamar dan duduk dikursi didepan meja belajar.

Kenapa enggak? Dia baik, pintar, perhatian, suka bantuin aku.” aku telah menyelesaikan kegiatanku, sekarang aku sudah duduk diujung kasur, menatap Gamya. Gamya hanya mengangguk-angguk sambil mengerucutkan bibirnya ke depan.

Kamu gimana? Udah jadian sama cewekmu?” aku mengambil bantal berbentuk bintang disebelahku dan memeluknya. Ia tersenyum lebar. Tanpa ia menjawab aku sudah tahu jawabannya.

Bagus lah, move on deh dari Kak Gina. Kamu kenapa sih tiba-tiba putus sama dia? Karena LDR ya?” tanyaku. Aku memang tidak pernah tahu alasan Gamya putus dengan kak Gina karena ia tidak pernah menceritakannya padaku. Aku juga nggak pernah bertanya secara langsung karena aku belum bertemu dengan Gamya sejak hari itu. Baru kali ini aku bertanya kepadanya, karena hari dimana Gamya minta ditemani lewat telepon, ia terlihat sangat ringkih. Sangat ringkih dimana aku ingin memeluknya, namun tidak bisa karena jarak.

Ku lihat ia menghela napas dan memainkan gelas ditangannya. “Hmm kenapa ya? Gue juga nggak begitu tahu alasannya. Ya udah kejadian gitu aja.” ia meringis. Seperti tidak ingin membahas lebih.

Aku hanya menganggukan kepala dan mengeratkan pelukanku ke bantal. Aku tidak pernah bercerita kepadanya. Bahwa kak Gina, keesokan hari setelah ia menelfon Gamya, mengirim DM di instagram. DM yang berisikan kata-kata kasar, menuduhku, dan lain-lain, seakan-akan mereka putus karena aku. DM itu tidak pernah aku balas, aku baca dan langsung aku delete. Tidak pernah ku tanyakan juga pada Gamya, ia bilang bahwa ia yang diputuskan bukan sebaliknya. Lalu mengapa kak Gina marah-marah kepadaku?

Sorry, kalau Gina pernah kirim pesan yang nggak ngenakin ke lo.” katanya seakan dapat membaca pikiranku. “Teman-teman cewek gue ada beberapa yang diDM sama Gina. Gue baca, dan yah.. marah-marah dia. Kalau dia pernah gitu juga ke lo, gue minta maaf ya.” katanya sambil menghabiskan minumnya. Saat ini gelasnya kosong dan ia meletakkannya di meja belajarku. Saat itu ia melihat poster pemilihan OSISku kemudian tersenyum.

Udah gede deh Memei. Udah ikut-ikut OSIS gini. Kalau kepilih jadi wakil ketua OSIS kan? Udah siap terkenal ya?” ia melihat barang-barangku dimeja belajar.

Cari pengalaman aja. Kayanya seru ya? Aku dulu lihat kamu sama Noa kayanya seru.” ia menghampiriku dan duduk dikasur, disebelahku.

“Seru dong. Dapat pengalaman baru, dapat teman baru, dapat kesalahan baru, dapat achievement baru. Yang tentunya lo bisa banyak belajar dari situ. Sejak kapan Memei udah gede gini ya?” ia menepuk kepalaku pelan dan mengelus kepalaku. Aku menatapnya. Tatapan matanya sulit diartikan. Teduh, hangat, dan tajam. Selama beberapa menit kami hanya menatap satu sama lain. Kemudian ia berdiri dan menarik tanganku.

Ayo! Katanya mau belajar pidato sama gue? Ke bawah aja ya? Sambil makan hehe.” katanya menarikku pelan.

Oh God, eye contact is so intimate and intimidating, I love it. Or I love him?

--

--