Serpihan Keduapuluh
Bhre
“Halo ma, maaf baru telfon. Bhre baru ada waktu luang.” Akhirnya setelah beberapa hari gue hanya berjanji-janji saja pada nyokap gue, gue bisa meneleponnya. Biasanya sebulan sekali gue bisa mengunjunginya ke Kuala Lumpur, namun bulan ini terlalu sibuk, selain itu ada beberapa masalah lain yang kunjung datang.
“Iya bang, nggak apa-apa. Apa kabar bang?” Suaranya terdengar dari ujung telepon.
“Baik. Abang nggak bisa kesana ya bulan ini. Abang masih banyak kerjaan di kantor jadi sering lembur terus. Mama dan ayah baik-baik aja kan?”
“Baik kok bang. Ayah punya hobi baru sekarang, rawatin tanaman, bang. Astaga.. udah kaya toko jual tanaman disini bang. Kamu nanti waktu kesini coba ingetin deh, masa beli tanaman harganya jutaan bang.” Gue bisa mendengar nada nyokap gue yang sedikit kesal.
Gue tertawa, “Bantuin rawat lah Ma kalau mahal hahaha. Nanti waktu abang kesana, abang kabarin ya.”
“Iya bang, nanti bisa dijemput di bandara sama ayah. Oh iya bang, pacar kamu gimana kabarnya? Katanya mau kamu ajak kesini.” Benar, beberapa kali nyokap gue meminta gue untuk mengajak Serayu ke Kuala Lumpur, namun belum ada waktu yang cocok. Selain itu, hubungan gue dan Serayu masih seumur jagung, bisa terkejut dirinya jika tiba-tiba diajak bertemu dengan kedua orang tua gue.
Sebenarnya nyokap itu jarang mengikuti berita atau gossip tentang gue atau kakak-kakak gue, biasanya temannya lah yang akan mengirimkan padanya. Jadi dia akan terus up to date mengenai apa pun yang diberitakan mengenai keluarganya. Meskipun ia sudah memiliki keluarga baru. Mama nggak pernah melupakan anak-anaknya.
Ponsel gue berdering beberapa kali, gue meliriknya. Ada beberapa pesan masuk disana. Kemudian masuk juga panggilan lain dari Demian. Ada apa?
“Ma? Ini sekretarisnya Bhre telfon, kayanya ada keperluan. Nanti dilanjutin lagi yang telfonnya?” Kata gue meminta nyokap gue megakhiri telepon.
“Bang, weekend-weekend masih kerja aja kamu. Ya sudah, nanti telfon lagi ya?” Katanya.
“Iya ma. Jangan lupa makan ya.” Kata gue kemudian mengenai tombol end.
Gue mengecek beberapa pesan yang masuk.
Tentu pesan dari Demian dulu yang gue cek karena jika ia sampai menghubungi gue berkali-kali mungkin ada sesuatu yang penting.
Namun gue terkejut saat membaca pesan itu.
Sebuah berita mengenai Serayu yang sedang viral di salah satu platform media sosial yang sedang digandrungi anak muda itu.
Gue mencoba menghubungi Serayu beberapa kali, namun telepon itu selalu masuk ke voice mail. Gue mencoba untuk mengiriminya pesan, namun juga pesan itu tidak kunjung terkirim.
Kemarin dia sempat memberitahu bahwa ia pergi ke Bogor dengan temannya yang bernama Micha karena akan membeli kain bersama. Mungkin mereka terlalu sibuk, sampai-sampai Serayu tidak melihat ponselnya.
Saat gue masih mencoba menghubungi Serayu, telepon dari Demian masuk lagi ke ponsel gue.
“Halo Dem.” Kata gue menyapa dengan suara yang gusar.
“Pak, saya sudah berusaha take down beberapa video atau berita mengenai ibu Serayu, namun itu sudah tersebar luas pak. Saya juga tidak tahu siapa yang pertama kali menyebarkan berita ini. Menurut saya ini sudah keterlaluan. Untuk apa menyebarkan berita seperti ini? Memangnya apa yang akan didapatkan?” Gue bisa mendengar suara Demian yang terdengar gusar juga disana. Pada situasi seperti ini, ia memang kerap kali berbicara formal kepada gue. Meskipun gue sudah berkali-kali menegurnya untuk berbicara santai aja.
“Dem. Gue lagi coba hubungi Serayu tapi nggak bisa. Boleh tolong cari kontak temennya nggak? Namanya Micha. Amisya Dharmawan kalau nggak salah. Gue mau coba chat temen gue dulu sama ke rumah Serayu ya. Makasih Dem.” Tanpa mendengar jawaban dari Demian, gue lekas mematikan telepon, mengambil jaket seadanya dan kunci mobil.
Sambil menunggu lift turun, gue mengirim pesan kepada Garta, untuk bertanya apakah ia sudah mendengar kabar dari Serayu dan bagaimana keadannya. Ternyata ia dan keluarganya belum mendapat balasan juga dari Serayu. Garta berkata bahwa tidak ada gunanya untuk datang ke rumahnya, karena rumahnya sedang kacau sekali karena berita itu.
Benar berita itu. Berita yang membuat gue terkejut. Bukan terkejut mengapa hal itu terjadi, tapi karena mengapa seseorang menyebarkan berita seperti itu.
Serayu bukan anak kandung keluarga Jati. Gue belum pernah mendengar hal ini dari Serayu maupun dari teman gue, Garta. Sebenarnya mau Serayu anak kandung keluarga Jati atau tidak, gue nggak peduli. Gue mencintai Serayu bukan karena ia adalah anak dari keluarga Jati, tapi karena dia adalah Serayu.
Gue juga nggak peduli alasan Serayu dan Garta menyembunyikan ini dari gue. Karena menurut gue ini adalah hal privacy mengenai keluarga mereka, dan kalaupun mereka mau memberitahu gue, pasti mereka akan memberitahukannya.
Gue sampai di parkiran basement apartement gue. Gue tidak tahu harus kemana untuk mencari Serayu.
Gue belum bertanya kemana Serayu akan pergi bersama Micha, gue belum bertanya juga mereka akan menginap dimana.
Fuck, ternyata gue terlalu nggak peduli dengannya. Seharusnya gue menanyakan soal itu kemarin, agar jika ada sesuatu yang terjadi padanya, gue tahu harus kemana mencarinya.
Gue merasa nggak berguna sebagai kekasih dari Serayu sekarang.
Gue mendapat pesan dari Demian. Itu adalah kontak whatsapp dan instagram dari teman Serayu, Micha.
Tanpa pikir panjang gue menelepon ke nomor tersebut, tapi nihil, tidak ada jawaban. Pesan yang gue kirimkan juga hanya terkirim, belum ada tanda terbaca disana.
Gue menghela napas kasar, melempar ponsel gue ke kursi penumpang dan mulai menjalankan mobil gue untuk masuk tol ke arah Bogor. Gue nggak tahu harus mencari Serayu kemana, yang penting gue harus usaha dulu.
Sudah tiga jam gue memutari Bogor dan masuk ke toko kain yang sudah entah ke berapa. Tapi nihil, gue nggak bisa menemukan Serayu.
Lagi-lagi gue melihat ke arah ponsel gue dan hanya menemukan pesan dari Demian saja.
Pesan yang gue kirimkan sudah berganti status menjadi terkirim, namun belum dibaca sama sekali olehnya.
Lagi-lagi entah yang ke berapa kalinya gue masih mencoba untuk menghubungi Serayu.
Saat gue masih mencari-cari toko kain lain yang bisa gue datangi, ponsel gue berbunyi, gue lekas melihatnya dan berharap itu adalah panggilan telepon dari Serayu.
Namun itu adalah panggilan dari Ceciliya. Gue menghela napas keras. Gue nggak tahu permainan apa yang Ceciliya lakukan tapi ini sudah sangat keterlaluan, jika memang berita ini Ceciliya-lah yang menyebarkan, gue bener-bener nggak bakal memaafkannya.
Gue menekan tombol hijau disana.
“Apa lagi Cil?” Tanya gue dengan nada keras.
Jawaban yang gue dapatkan adalah suara tawanya dari sana.
“Gimana? Cukup bikin kaget nggak?” Tanyanya.
“Demi apapun, kalo ini lo yang nyebarin, gue bisa ngelakun apa aja buat bikin hidup lo lebih sengsara Cil.” Kata gue mengancam.
“Gue udah nggak punya apa-apa lagi, orang tua gue jadi hopeless sama gue, bilang gue nggak bisa nerusin perusahaannya karena batal nikah sama lo. Cuma ini satu-satunya jalan biar lo bisa pisah sama dia.”
“Apapun yang bakal lo lakuin, ini nggak bakal buat gue sama Serayu pisah, Cil. Kayanya lo nggak tahu apa-apa soal gue.” Jawab gue.
“Oh ya? So how about your mother? Dia nggak ngasih reaksi apa-apa soal itu?” Gue nggak tahu dia tahu informasi soal nyokap gue dari mana, tapi menurut gue ini sudah melewati batas.
“Lo nggak perlu tahu dan nggak bakal gue kasih tau. Gue udah bilang udah cukup Cil. Apapun rencana yang lo buat, nggak bakal bikin kita bisa nikah.” Kata gue menjeda sambil menarik napas panjang. Gue nggak mau terdengar seperti psikopat tapi yang gue ingin lakukan sekarang adalah memukul Ceciliya.
“Lo udah nyakitin orang-orang disekitar gue yang nggak ada hubungannya sama rencana lo. Udah cukup Cil. Ini nggak bakalan bikin gue setuju sama rencana yang lo buat.”
Ceciliya tidak menjawab diujung telepon. Namun beberapa detik kemudian gue bisa mendengarkan suara isakan. Dia nangis? Harusnya gue yang nangis, bangsat.
“Lo — lo nggak tau seberapa banyak burden yang dikasih orang tua gue ke gue, Bhre. Lo tinggal bilang iya ke gue apa susahnya sih? Gue harus usaha kaya gimana lagi Bhre?” Gue bisa mendengarnya kesulitan berbicara karena menangis.
“Apa orang tua lo bakal setuju kalo tau lo pacaran sama perempuan yang bukan siapa-siapa? Bukannya orang tua lo malah lebih seneng kalo lo nikah sama gue? Anak dari penerus INA group? Kenapa Bhre? Kenapa?” Apa yang dia ucapkan sudah tidak terkendali, and for god’s sake gue nggak mau mendengarkannya. Yang gue inginkan sekarang adalah mencari Serayu dan memeluknya.
“Nggak bisa Cil. We will end this here. Nggak, sebenernya ini sudah berakhir sejak lama. Tapi ini informasi lagi aja nge-remind lo kalo udah cukup sampai disini. Lo tau kita nggak bakal bahagia kalo nurutin rencana lo itu. Udah cukup Cil. Gue nggak mau orang-orang terdekat gue tersakiti karena lo lagi. Toh, dengan lo nyebar berita kaya gini apa yang lo dapet? Lo berharap gue putus sama Serayu karena ini? Lo berharap orang tua gue nentang gue sama Serayu dan maksa gue buat nikahin lo? Dunia ini nggak berputar disekitar lo doang Cil. Orang kaya kita yang diberi privilage kaya gini harusnya bisa manfaatin dengan baik. Tapi lihat, lo malah manfaatin privilage lo bikin orang sakit hati dimana-mana.” Aku menghela napas, sebelum aku menutup telepon. “Ini yang terakhir Cil. Sekali lagi lo ganggu orang-orang gue, lo nggak tau gue bisa lakuin apa buat lo dan keluarga.”
Telepon terputus. Gue menyandarkan dahi gue ke kemudi mobil.
Sekali lagi gue mengecek apakah ada balasan dari Serayu atau tidak. Tapi nihil.
Namun ada satu pesan masuk di inbox gue. Dari nomor yang tidak dikenal.
+62 812–4728–2847: Ini kakak Serayu, Dika. Bisa dateng ke Boulevard Resto? Ada yang mau gue omongin. Oh ya, Serayu udah gue anter pulang.